skip to main |
skip to sidebar
Dalam soal menjalankan ibadat, umat
Islam telah sepakat bahwa al-Quran dan al-Hadits adalah dua sumber
utama yang wajib ditaati dan diamalkan. Kedua-duanya merupakan pedoman
dan rujukan paten bagi umat Islam di muka bumi ini. Hal ini tidak ada
yang mengingkari kecuali orang-orang kafir dan munafiq. Para ulama ushul
sepakat, bahwa orang yang mempunyai kemampuan mengistinbath hukum
secara langsung dari sumbernya, yaitu al-Quran dan al-Hadits, maka wajib
berpegang dan mengamalkan hasil ijtihadnya dan tidak dibenarkan kalau
sampai mengambil hasil ijtihad ulama lain. Sebagaimana firman Allah
dalam Surat an-Nisa’ ayat 59: “… Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan RasulNya
(al-Quran dan al-Hadits).” Namun kenyataannya sekarang adalah tidak
semua orang Islam mampu melakukan istinbath (mengeluarkan hukum) dari
al-Quran dan al-Hadits seperti imam-imam madzhab. Inilah sebabnya
mengapa ada madzhab dan taqlid. Dan ternyata sejarah membuktikan, bahwa
taqlid tidaklah menyebabkan umat menjadi jumud atau beku. Sebaliknya,
seruan ijtihad dan bebas madzhab hanya menimbulkan perpecahan dan
kehinaan yang berkepanjangan bagi umat ini. Seruan agar umat berijtihad
tanpa melihat apakah umat memiliki kemampuan dan kelayakan sebagai
mujtahid atau tidak, adalah satu seruan yang berbahaya yang dapat
menimbulkan kekacauan dan perpecahan serta kerusakan di berbagai sektor
kehidupan. Asy-Syahid asy-Syeikh Dr. M. Said Ramadhan al-Buthiy dalam
kitabnya yang berjudul Alla Madzhabiyyah Akhtharu Bid`atin Tuhaddidu
asy- Syarii`at al-Islamiyyah” telah menjelaskan panjang lebar tentang
bahaya bebas madzhab. Banyak orang salah sangka bahwa adanya madzhab
berarti sama dengan memicu perpecahan. Sehingga ada dari sebagian umat
Islam yang menjauhkan diri dari bermadzhab, bahkan ada yang sampai anti
madzhab. Kesalahfahaman mereka tentang hakekat bermadzhab ini terjadi
karena keawaman dan kekurangan informasi yang benar kepada mereka.
Madzhab-madzhab fiqh itu bukanlah representasi dari perpecahan atau
perseteruan, apalagi peperangan di dalam tubuh umat Islam. Sebaliknya,
adanya madzhab itu memang merupakan kebutuhan asasi untuk bisa kembali
kepada al-Quran dan al- Hadits. Madzhab empat yang ada dan kita kenal
selama ini adalah hasil ijtihad ulama-ulama yang tidak diragukan lagi
kemampuannya di bidang itu, yaitu, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam
Syafi’i dan Imam Hanbali. Ijtihad sebagaimana yang telah ketahui, adalah
menggali isi al-Quran dan al-Hadits untuk dikaji, diteliti dan
dianalisa
sehingga membuahkan hukum- hukum Islam yang konkrit dan
positif. Buah atau hasil ijtihad itulah yang kemudian oleh orang disebut
“madzhab”. Jelasnya, orang yang bermadzhab sama artinya dengan orang
yang mengamalkan al-Quran dan al- Hadits, karena semua pendapat yang
difatwakan oleh imam-imam madzhab adalah hasil dari kajian mereka
terhadap al-Quran dan al-Hadits. Bahkan untuk memudahkan orang-orang
awam, mereka siang malam berusaha mengkaji dan menggali hukum-hukum
didalam al-Quran dan al- Hadits yang notabene ribuan dan tidak
berurutan, mereka atur sedemikian rupa, diurutkan dari bab ke bab.
Sehingga hukum-hukum islam lebih mudah dipelajari. Kemudian sebagai
manusia biasa, mereka juga bisa salah, tentu kita maklumi itu. Dan ini
bukan berarti kita lalu menolak atau bahkan anti dengan mereka hanya
gara-gara ada satu atau dua kesalahan yang timbul dari mereka. Sebab
kesalahan satu dua dalam rangka menggarap persoalan yang ribuan
banyaknya adalah sudah wajar dan logis. Justru yang tidak wajar dan
tidak logis adalah menolak seluruh persoalan-persoalan tersebut hanya
karena adanya satu atau dua kesalahan tadi. Ironinya ada sebagian orang
yang mungkin karena dengki atau iri atau karena kepentingan pribadi,
bermaksud menghapus secara total madzhab- madzhab yang ada dengan cara
menolak dan mengibarkan bendera “anti madzhab”, serta mengharuskan
setiap orang Islam agar berijtihad atau menggali hukum secara langsung
dari sumbernya, tanpa melihat apakah mereka memiliki kemampuan dan
kelayakan sebagai mujtahid atau tidak. Apa yang terjadi jika semua orang
melepaskan diri dari madzhab-madzhab yang ada dan mereka semua
dibebaskan berijtihad. Padahal kita tahu bahwa tidak setiap orang Islam
mempunyai kesempatan dan kemampuan dalam mempelajari agama secara
mendalam, sehingga tidak setiap orang pula mampu mengistinbath (menggali
hukum) langsung dari sumbernya? Pertanyaan ini sama jawabannya dengan
pertanyaan, apa yang terjadi jika orang-orang sakit ditangani oleh
buruh-buruh bangunan? Atau apa yang terjadi jika Negara ini dipimpin
oleh orang- orang yang bukan ahlinya? Jawabannya tiada lain hanyalah
kekacauan dan kerusakan total akan menimpah segi-segi kehidupan umat
manusia. Sebab mereka melakukan usaha tidak pada tempatnya atau tidak
sesuai dengan keahliannya. Ingat! para imam madzhab laksana para
koki-koki hebat yang dapat meramu bumbu-bumbu mentah menjadi sebuah
masakan yang enak dan lezat lagi aman dari berbagai macam penyakit.
Hasil ijtihad mereka kalau salah tetap akan mendapatkan satu pahala
sedangkan jikalau benar maka dua pahala baginya. Untuk rusan makanan
saja tidak bisa sembarangan orang bisa meramunya, apalagi ini adalah
urusan syariat Islam! Sebuah pertanggungan jawab antara hamba dengan
Rabbnya di akhirat kelak. Wallahu al-Musta’an
0 komentar:
Posting Komentar