Munajat Gus Dur

 
 
( terjemahnya)
ku memulai menembangkan (menyanyikan) sya’ir
Dengan memuji kepada Tuhan
Yang memberi rahmat dan kenikmatan
Siang dan malam tanpa perhitungan
Wahai para sahabat pria dan wanita
jangan hanya belajar syari’at saja
Hanya pandai mendongeng (bicara),menulis dan membaca
Akhirnya hanya akan sengsara
Banyak yang hafal al-Qur’an dan hadistnya
Suka mengkafirkan orang lain
Kekafirannya sendiri tidak diperhatikan
Kalau masih kotor hati dan akalnya
Mudah tertipu nafsu Angkara
Dalam Hiasan gemerlapnya dunia
Iri dan dengki kekayaan tetangga
Maka hatinya gelap dan nista
Mari saudara jangan melupakan
Kewajiban mengaji (belajar) lengkap dengan aturannya
Untuk menebalkan iman tauhidnya
Bagusnya bekal mulia matinya
Yang disebut orang shaleh itu bagus hatinya
Karena sempurna seri keilmuannya
Melakukan thariqat dan ma’rifatnya
Juga hakekat meresap rasanya
Al-qur’an qodhim wahyu yang mulia
Tanpa ditulis bisa dibaca
Itu wejangan (pesan) guru yang waskita
Ditancapkan ke dalam dada
tergantung (tertempel) di hati dan pikiran
Merasuk ke dalam badan dan tubuh
Mu’jizat rasul ( Al-qur’an ) jadi pedoman
Sebagai jalan masuknya iman
Kepada Allah yang Maha suci
Harus berpelukan (mendekatkan diri) siang dan malam
Diusahakan dan dilatih
Dzikir dan suluk jangan sampai dilupakan
Hidupnya tentram dan merasa aman
Itulah perasaan tanda beriman
Sabar menerima meskipun (hidup) pas-pasan
Semua sudah ditakdirkan dari Tuhan
Terhadap teman , saudara dan tetangga
Rukunlah jangan bertengkar
Itu sunnah Rasul yang mulia
Nabi Muhammad suri tauladan kita
Mari jalani semuanya
Allah yang akan mengangkat derajatnya
Meskipun rendah secara lahiriah
Namun mulia kedudukan derajatnya disisi Allah
Ketika ajal telah datang di Akhir
Tidak tersesat roh dan sukma(raga)nya
Disanjung Allah surga tempatnya
Utuh (lengkap) jasadnya juga kain kafannya.


                                                                                   
Pemulung Ilmu , Kediri 1 Mei 2013

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Ojo Rumongso Biso, Nanging Biso Rumongso


Artinya, aja rumangsa bisa (jangan merasa bisa), nanging bisa rumangsa (tetapi bisa merasa). Merasa bisa adalah sifat tidak terpuji karena dinilai sebagai wujud kesombongan dan kebohongan. Sebab, hasil kerja orang seperti ini biasanya tidak sebaik dengan yang dijanjikannya. Sementara, dapat merasa atau menggunakan perasaan adalah sifat baik karena merupakan landasan sikap tenggang rasa antar sesama.
Dalam peribahasa ini, merasa bisa dianggap sebagai sikap yang gegabah, dikarenakan merasa bisa sama saja dengan belum tentu bisa. Lebih berbaya lagi jika dari merasa bisa kemudian mengaku bisa, dan berani mengatakan bisa. Sifat seperti ini dianggap buruk. Seandainya yang bersangkutan dipercaya melaksanakan pekerjaan yang dirasanya bisa, dan ternyata gagal, apakah tidak memalukan dan merugikan semua pihak?
Bisa rumangsa berarti tahu diri, yaitu berani merasa tidak bisa dan mengakui tidak bisa. Pada sisi lain, bisa rumangsa juga berarti memiliki kesadaran yang cukup dalam mengukur diri sesuai kemampuan yang dimiliki. Dengan mengamalkan sifat seperti itu, individu yang bersangkutan akan memperoleh ketenteraman dan ketenangan hidup di lingkungannya. Ia akan dinilai sebagai orang yang jujur, tidak sombong, dan mampu menempatkan diri dengan baik di dalam masyarakat.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PENTINGNYA BERMADZHAB DAN BAHAYA TANPA MADZHAB


 Dalam soal menjalankan ibadat, umat Islam telah sepakat bahwa al-Quran dan al-Hadits adalah dua sumber utama yang wajib ditaati dan diamalkan. Kedua-duanya merupakan pedoman dan rujukan paten bagi umat Islam di muka bumi ini. Hal ini tidak ada yang mengingkari kecuali orang-orang kafir dan munafiq. Para ulama ushul sepakat, bahwa orang yang mempunyai kemampuan mengistinbath hukum secara langsung dari sumbernya, yaitu al-Quran dan al-Hadits, maka wajib berpegang dan mengamalkan hasil ijtihadnya dan tidak dibenarkan kalau sampai mengambil hasil ijtihad ulama lain. Sebagaimana firman Allah dalam Surat an-Nisa’ ayat 59: “… Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan RasulNya (al-Quran dan al-Hadits).” Namun kenyataannya sekarang adalah tidak semua orang Islam mampu melakukan istinbath (mengeluarkan hukum) dari al-Quran dan al-Hadits seperti imam-imam madzhab. Inilah sebabnya mengapa ada madzhab dan taqlid. Dan ternyata sejarah membuktikan, bahwa taqlid tidaklah menyebabkan umat menjadi jumud atau beku. Sebaliknya, seruan ijtihad dan bebas madzhab hanya menimbulkan perpecahan dan kehinaan yang berkepanjangan bagi umat ini. Seruan agar umat berijtihad tanpa melihat apakah umat memiliki kemampuan dan kelayakan sebagai mujtahid atau tidak, adalah satu seruan yang berbahaya yang dapat menimbulkan kekacauan dan perpecahan serta kerusakan di berbagai sektor kehidupan. Asy-Syahid asy-Syeikh Dr. M. Said Ramadhan al-Buthiy dalam kitabnya yang berjudul Alla Madzhabiyyah Akhtharu Bid`atin Tuhaddidu asy- Syarii`at al-Islamiyyah” telah menjelaskan panjang lebar tentang bahaya bebas madzhab. Banyak orang salah sangka bahwa adanya madzhab berarti sama dengan memicu perpecahan. Sehingga ada dari sebagian umat Islam yang menjauhkan diri dari bermadzhab, bahkan ada yang sampai anti madzhab. Kesalahfahaman mereka tentang hakekat bermadzhab ini terjadi karena keawaman dan kekurangan informasi yang benar kepada mereka. Madzhab-madzhab fiqh itu bukanlah representasi dari perpecahan atau perseteruan, apalagi peperangan di dalam tubuh umat Islam. Sebaliknya, adanya madzhab itu memang merupakan kebutuhan asasi untuk bisa kembali kepada al-Quran dan al- Hadits. Madzhab empat yang ada dan kita kenal selama ini adalah hasil ijtihad ulama-ulama yang tidak diragukan lagi kemampuannya di bidang itu, yaitu, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali. Ijtihad sebagaimana yang telah ketahui, adalah menggali isi al-Quran dan al-Hadits untuk dikaji, diteliti dan dianalisa
sehingga membuahkan hukum- hukum Islam yang konkrit dan positif. Buah atau hasil ijtihad itulah yang kemudian oleh orang disebut “madzhab”. Jelasnya, orang yang bermadzhab sama artinya dengan orang yang mengamalkan al-Quran dan al- Hadits, karena semua pendapat yang difatwakan oleh imam-imam madzhab adalah hasil dari kajian mereka terhadap al-Quran dan al-Hadits. Bahkan untuk memudahkan orang-orang awam, mereka siang malam berusaha mengkaji dan menggali hukum-hukum didalam al-Quran dan al- Hadits yang notabene ribuan dan tidak berurutan, mereka atur sedemikian rupa, diurutkan dari bab ke bab. Sehingga hukum-hukum islam lebih mudah dipelajari. Kemudian sebagai manusia biasa, mereka juga bisa salah, tentu kita maklumi itu. Dan ini bukan berarti kita lalu menolak atau bahkan anti dengan mereka hanya gara-gara ada satu atau dua kesalahan yang timbul dari mereka. Sebab kesalahan satu dua dalam rangka menggarap persoalan yang ribuan banyaknya adalah sudah wajar dan logis. Justru yang tidak wajar dan tidak logis adalah menolak seluruh persoalan-persoalan tersebut hanya karena adanya satu atau dua kesalahan tadi. Ironinya ada sebagian orang yang mungkin karena dengki atau iri atau karena kepentingan pribadi, bermaksud menghapus secara total madzhab- madzhab yang ada dengan cara menolak dan mengibarkan bendera “anti madzhab”, serta mengharuskan setiap orang Islam agar berijtihad atau menggali hukum secara langsung dari sumbernya, tanpa melihat apakah mereka memiliki kemampuan dan kelayakan sebagai mujtahid atau tidak. Apa yang terjadi jika semua orang melepaskan diri dari madzhab-madzhab yang ada dan mereka semua dibebaskan berijtihad. Padahal kita tahu bahwa tidak setiap orang Islam mempunyai kesempatan dan kemampuan dalam mempelajari agama secara mendalam, sehingga tidak setiap orang pula mampu mengistinbath (menggali hukum) langsung dari sumbernya? Pertanyaan ini sama jawabannya dengan pertanyaan, apa yang terjadi jika orang-orang sakit ditangani oleh buruh-buruh bangunan? Atau apa yang terjadi jika Negara ini dipimpin oleh orang- orang yang bukan ahlinya? Jawabannya tiada lain hanyalah kekacauan dan kerusakan total akan menimpah segi-segi kehidupan umat manusia. Sebab mereka melakukan usaha tidak pada tempatnya atau tidak sesuai dengan keahliannya. Ingat! para imam madzhab laksana para koki-koki hebat yang dapat meramu bumbu-bumbu mentah menjadi sebuah masakan yang enak dan lezat lagi aman dari berbagai macam penyakit. Hasil ijtihad mereka kalau salah tetap akan mendapatkan satu pahala sedangkan jikalau benar maka dua pahala baginya. Untuk rusan makanan saja tidak bisa sembarangan orang bisa meramunya, apalagi ini adalah urusan syariat Islam! Sebuah pertanggungan jawab antara hamba dengan Rabbnya di akhirat kelak. Wallahu al-Musta’an

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Berbahasa Arab, tak harus orang Arab

**
Dunia Islam, tak terkecuali pesantren memang selalu diidentikkan dengan bahasa Arab. Yang menarik ternyata bahasa Arab tidak selalu identik dengan orang Negara Arab. Definisi orang Arab bukan karena hidungnya panjang dan jenggotnya lebat. Orang Arab adalah yang menguasai bahasa Arab. Di jazirah Arab justru kebanyakan bukan orang Arab yang berbahasa Arab. Dari 22 negara di sana hanya Makkah dan Yaman yang hingga kini eksis memakai bahasa Arab sebagai bahasa resmi. Yang lainnya adalah suku-suku bangsa yang lain dengan bahasanya masing-masing. Seperti Iran dengan bahasa Persi, Mesir dengan bahasa Koptik, dll.
Bahasa Arab baru menjadi bahasa pemersatu Jazirah Arab ketika Islam didakwahkan. Hal ini tak lepas dari peranan al qur’an yang berbahasa Arab.
Para ulama muslim mayoritas juga justru bukan dari Negara Arab. Imam Bukhori dari Maroko, Imam Nawawi juga bukan orang Arab. Tafsir Qurthubi karangan Imam Qurthubi yang bahkan menjadi refrensi tafsir yang sangat mu`tabar didunia hingga saat ini dan Imam Ibnu Malik pengarang nadzom seribu bait ilmu nahwu dan shorof yang  menjadi rujukan santri sejagat itupun bukan arab mereka berdua

dari Spanyol.
Melihat kenyataan demikian sama sekali tak jadi soal kita orang Arab atau bukan untuk menguasai bahasa Arab. kuncinya sekali lagi satu, kemauan. Dan sekarang mau atau tidak semua tergantung anda. {}

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

''SEPAK BOLA KIAN 'MENYIHIR DUNIA''

Cobalah anda pikirkan tanpa mengikutsertakan kesenangan anda sendiri, mungkin  anda pun  sepakat, seperti orang yang tidak senang  atau tidak sepaham dengan sepak bola,  merasa geli melihat 22 orang dewasa  11 lawan 11  berlari-lari memperebutkan  dengan serius  sebuah bola bundar meskipun resiko cedera atau bahkan patah tulang kaki sekalipun atau yang lebih serius dari itu bukan masalah bagi mereka. Itu semua mereka lakukan  hanya demi materi, ketenaran dengan harapan dapat menjadi pemain terbaik yang akan berpotensi 'dijual-beli' dari lain tim untuk membela tim yang berani bayar mahal untuk itu dan yang pasti jumlah finansial yang menggiurkan jika menang besertaan dihantui rasa takut dan khawatir jika tim yang dibelanya menelan pil pahit kekalahan.         
       Sehingga suatu saat, bila ada salah seorang  diantara 22 orang itu berhasil menendang  dan memasukkan bola ke gawang lawan yang dijaga mati-mati oleh kipernya, semua - kecuali pihak yang kemasukan  dan pendukung-pendukungnya pun bersorak-sorai gembira bukan kepalang. Seperti setiap permainan yang lain , dalam sepak bola pun harus ada  yang menang dan ada yang  kalah. Yang menang adalah yang paling banyak memasukkan bola kegawang lawan. Begitulah permainan sepak bola yang telah banyak mempermainkan  jutaan umat manusia diseluruh dunia .
  Toh, ternyata sangat banyak yang digandrungi syndrom  sepak bola  atau maniak football yang menggemparkan jagat raya. Yang lebih ironisnya lagi, di negara-negara Eropa sepak bola kedudukannya lebih terkenal dan dicintai dibanding agama mereka  dan sepertinya lambat laun , virus ini akan merambat kedunia muslim tak terkecuali Indonesia . Inilah yang patut menjadi kekhawatiran kita bersaman.
  Pendek kata, sepak bola  menjadi  semacam virus yang  telah mewabah membuat demam dunia. Lihatlah, betapa pers, termasuk kita , sudah geger  mempersiapkan diri menyambut World Cup,  Liga Inggris, Spanyol  bahkan tak tertinggal PSSI ,ISL dan lain sebagainya  asli produk lokal  Indonesia tapi bertabur bintang bukan pribumi Indonesia.Rubrik-rubrik seputar bola-pun sedemikian  detail memberitakan tentang permainan, strategi ,inspratruktur  lapangan bola bahkan hingga kehidupan pribadi si pemain bola  dan pelatih sekalipun bak artis papan atas. Dan tak mau ketinggalan stasiun-stasiun televisipun  juga berlomba-lomba hak tayang dan berkompetisi mengiklankan jadwal-jadwal pertandingan dsb. dst.
   Itu semua tentu tidak lepas dari kelihaian para pencari materi(duit) yang tahu persis bagaimana memanfaatkan permainan  yang menjadi kegemaran  hampir semua orang itu. Mereka paling lihai ,paling kreatif dan paling serius, akan mendapatkan keuntungan paling banyak. Karena zaman ini, sepak bola , - sebagaimana banyak permainan yang lain- tidak hanya merupakan olah raga atau apalagi permainan pengisian waktu senggang belaka . Tapi sepak bola di zaman ini  sudah pula berarti bisnis ; gengsi; entertainment dlsb. Kecuali mereka yang tidak suka dan tidak paham sepak bola, kiranya tak adalagi orang yang merasa geli  melihat 22 orang dewasa berlari-lari berebut bola untuk ditendang kembali setelah berhasil merebutnya. Sedang mereka  yang membahas , mengkalkulasi, menyeminar , bahkan  mendirikan  sekolah untuk itu pun  rasanya tak ada yang meras aneh dan geli.
   Tapi itulah hidup. Hidup tak lebih dari permainan, seperti permainan sepak bola itu. Orang berlari-lari, berebut sesuatu yang sepele   untuk kemudian dilepas  dan dikejar-kejar lagi. Mereka yang mengejar  dan berebut harta misalnya , setelah berhasil mendapatkannya, ada yang dilepas dengan sukarela , ada pula terpaksa dilepaskan.Demikian  pula mereka yang mengejar  dan berebut kursi atau kekuasaan  dlsb.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pesantren lembga pendidikan primer atau sekunder.,.,.,.,??


Selama ini, sebagian besar pendidikan pondok pesantren di Indonesia menampakan wajah yang terkesan tradisional, klasik serta apa adanya. Namun demikian tidak bisa dipungkiri dengan citra wajah yang seperti itu, justru tidak lapuk dimakan zaman. Bahkan ditengah gempuran arus globalisasi yang kian menggila dan hedonisme masyarakat yang kian meningkat, pesantren tetap mampu memikat sebagian komunitas masyarakat untuk tetap menjadikannya sebagai wadah untuk menuntut ilmu. Benarkah?
Sebagai lembaga pendidikan berbasis agama, pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai syariat dan penyiaran agama Islam. Dengan menyediakan kurikulum yang berbasis agama, pesantren diharapkan mampu melahirkan alumni yang kelak mampu menjadi figur agamawan yang tangguh dan mampu memainkan peran serta membiaskan peran propetiknya pada masyarakat secara umum. Artinya, akselerasi mobalitas vertikal dengan penjejalan materi-materi keagamaan menjadi priotitas.
Namun dalam hal ini, dimana peranan itu sudah semakin mengabur dengan berbagai permasalahan  yang dihadapkan oleh perkembangan zaman–dimana masyarakat kita sudah didera berbagai penyakit terutama hedonisme yang semakin menggila–sepertinya memaksa kita untuk tidak mengatakan satu-satunya prioritas dalam  sistem pendidikan pesantren (ilmu agama).
Dalam hal ini, tentunya kita perlu mengkaji kembali nilai-nilai substansial dari sistem yang selama ini  dijadikan superioritas  dalam pendidikan pesantren (tradisional) untuk lebih bisa menompang nilai-nilai yang bersifat reaktif, tanggap terhadap berbagai persoalan bangsa. Adalah keniscayaan ketika kita terlalu eksklusif  dalam pengelaborasian sistem yang selama ini di anggap final – memberikan ruang  yang demikian besar pada ilmu-ilmu keagamaan – berakibat menciptakan penghalang mental untuk melakukan perubahan di tubuh pesantren sendiri.
Padahal, ditengah gegap gempita dan kompetisi sistem pendidikan yang ada, pesantren –sebagai lembaga pendidikan tertua yang masih bertahan hingga kini-, tentu saja harus sadar bahwa penggiatan diri melulu pada wilayah keagamaan tidak lagi memadai. Pesantren dituntut untuk senantiasa apresiatif sekaligus selektif dalam menyikapi dan merespons perkembangan zaman.
Pragmatisme budaya yang kian menggejala, sejatinya bisa dijadikan pertimbangan lain, bagaimana seharusnya pesantren mensiasati fenomena tersebut. Bukannya malah menutup diri. Sejatinya pesantren harus membuka diri sekaligus menjajaki perubahan yang terjadi. Dan pada saat yang sama, pesantren pun harus proaktif serta memberikan ruang bagi pembenahan.
Meskipun demikian, kecurigaan pesantren terhadap anancaman lembaga pendidikan kolonial tidak selalu berwujud penolakan yang apriori. Karena di balik penolakannya, ternyata diam-diam pesantren melirik metode yang digunakan lalu kemudian mencontohnya.
Fenomena “menolak sambil mencontoh”, demikian Karel Steenbrink (1994) mengistilahkannya, tampak dalam perkembangan pesantren di Nusantara. Ini terlihat, misalnya, dengan diajarkannya pengetahuan umum semisal bahasa Melayu dan Belanda, sejarah, ilmu hitung, ilmu bumi, dan sebagainya.
Pada tahun 1934, KH. Wahid Hasyim atas restu ayahnya, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, mendirikan madrasah Nidzhomiyah yang mana pengajaran pengetahuan umum mencapai 70 persen dari keseluruhan kurikulum yang diajarkan disana. (Dhafier, 1994). Ini merupakan salah satu respon pesantren dalam mensiasati tuntutan zaman yang tujuannya bukan mengurangi keunikan pesantren itu  sendiri, melainkan justru melengkapi dan memperluas cakupan keilmuannya.
Dalam konteks inilah, pesantren di samping mempertahankan kurikulum yang berbasis agama, juga melengkapinya dengan kurikulum yang menyentuh serta berkaitan erat dengan persoalan dan kebutuhan kekinian umat.
Perlu ditegaskan di sini, bahwa modifikasi dan improvisasi yang dilakukan pesantren semestinya hanya terbatas pada aspek teknis operasionalnya saja. Bukan substansi pendidikan pesantren itu sendiri. Sebab, jika modifikasi dan improvisasi tersebut menyangkut substansi pendidikan, maka pesantren yang mengakar ratusan tahun lamanya akan tercabut dan kehilangan elan vital sebagai penopang moral pesantren.
Teknis operasional yang dimaksud bisa berwujud perencanaan pendidikan yang rasional. Pembenahan kurikulum pesantren dalam pola yang mudah dicerna dengan tanpa mengulang kembali pelajaran yang sudah diajarkan, tentu saja adalah skala prioritas dalam pendidikan. Dengan pola perencanaan yang matang, terstruktur sembari mempertimbangkan skala prioritas dan pembentukan kurikulum yang efektif dan efisien, dapat dipastikan pesantren mampu terus menancapkan pengaruhnya di tengah-tengah masyarakat yang belakangan tampak mulai apatis,–untuk tidak mengatakan alergi dengan sistem pendidikan pesantren.
Era Globalisasi Pesantren
Indonesia, sebagai Negara satu-satunya di dunia yang memiliki sistem pendidikan pesantren seharusnya mampu menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang bergengsi serta mampu bersaing dengan pendidikan formal lainnya. Sebab, selama ini masyarakat lebih disibukkan dengan pemenuhan kebutuhan akan lembaga pendidikan formal yang bergengsi. Bila mendengar nama pesantren, maka yang timbul adalah sikap apatis dan berusaha menjauhkan keluarganya dari lingkungan pesantren.
Padahal, pesantren telah terbukti mampu memberikan pembinaan dan pendidikan bagi para santri untuk menyadari sepenuhnya atas kedudukannya sebagai mansuia, mahluk utama yang harus menguasai alam sekelilingnya. Hasil pembinaan pondok pesantren juga membuktikan bahwa para santri menerima pendidikan untuk memiliki nilai-nilai kemasyarakatan selain akademis. Ini merupakan salah satu keberhasilan pondok pesantren dalam bidang pembinaan bangsa.
Bukan berarti salah jika pondok pesantren selalu memodernisasi sistem pendidikanya dengan tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja, akan tetapi juga mengajarkan mata pelajaran yang ada dalam sistem pendidikan nasional. Dengan sistem pendidikan seperti ini, maka pondok pesantren tidak hanya dapat bertahan, akan tetapi juga berkembang dan tidak pernah tertingal oleh perkembangan zaman.
Maka wajar apabila pesantren mampu mencetak banyak pemikir islam Indonesia. Melihat perkembangan zaman yang semakin pesat, maka pesantren segera menyesuaikan diri dengan melakukan proses urbanisasi intelektual. Santri-santri yang tadinya hanya membaca kitab kuning, kemudian merambah “dunia lain” dengan menjadi seorang pemuda yang membaca kitab putih.
Dengan demikian, diharapkan nantinya akan terlahir pemuda-pemuda bangsa dengan latar belakang pendidikan pesantren yang mempunyai pandangan luas, kritis, produktif, inovatif, dan mampu memberikan kontribusi untuk bangsa Indonesia.
Semoga.][

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PACARAN ISLAMI... ADAKAH.......?????

Sudah banyak lagu di gubah,buku dirilis,puisi ditulis, dan kanvaspun dlukis, hanya tuk menggambarkan sebuah kata bernama "CINTA".Tapi apakah cinta itu sebenarnya?Seprti apa bentuknya? Bagaimana rasanya? Atau ,mengapa didunia ada cinta........????
Seorang pelukis akan berbeda dgn seorang pencipta lagu dalam menjelaskan cinta.Seorang psikolog akan berlainan dgn seorang akuntan dlm memhami cinta.Bahkan setiap orang akan berbeda mendefenisikan cinta dgn cara yg berbeda .Itu sah-sah saja lah.
Persoalannya ,cinta sedemikian abstrak sehingga sulit didekati dgn kaca mata ilmiah,apalagi dgn sudut pandang nafsu belaka.Karena itu butuh peran agama untuk menuntun kita memahami cinta sejati.Agama sebagai pelita harus dijadikan acuan dlm memahami(dan menjalani) kehidupan nan penuh cinta.Yakni kehidupan damai yg ditopang oleh kesucian cinta dibawah naungan nilai-nilai Islami.
Kalau sudah bicara ttg cinta pasti tdk akan jauh dgn kata PACARAN,Ketika mendengar kata istilah pacaran maka yg terlintas dibenak kita adalah hal 2 yg tabu,hot, jorok,dll. Padahal kita sendiri belum mengerti jelas apa itu pacaran ? Ilegal ataukah tidak? Pernahkah islam mengkonsepnya.?dan masih banyak lagi pertanyaan2 lagi seputar pacaran.
Dalam lslam ,pacaran sebenarnya bukan merupakan hal yg tabu.Ketika sahabat Mughiroh bin Syu`bah menghadap Rasulullah SAW dan memberitahukan bahwa dirinya akan menikahi seorang wanita Anshor, lalu Nabi SAW bertanya"Apakah kau sudah melihatnya?" Mughiroh menjawab"Belum".Kemudian Nabi SAW Bersabda,"Lihatlah wanita yg hendak kau nikahi.Sesungguhnya melihat wanita ayg akan kau nikahi adalah hak mu."
Dari hadits ini dapat ditarik benang merah, bahwa pacaran dalam islam mempunyai legalitas.Artinya, pacaran itu hukumnya sah-sah saja. Ketika kita memang ingin membangun mahligai rumah tangga.Islam memperkenalkan konsep KHITBAH (meminang) sbg raelisasi dari keseriusan menuju jenjang penikahan.
Pacaran dlm Islam sudah diatur secara rapi oleh para Ulama`.Kebolehan pacaran ini dimaksudkan agar kedua pasangan itu saling mengenal karakter masing-masing, serta utk menyamakan persepsi diantara keduanya,disamping utk mengenal secara fisik(shuroh). Praktek pacaran Islami yg diperbolehkan adalah dgn berbincang 2 ,duduk bersama, namun harus disertai dgn mahram.Dalam perbincangan pun itu tdk boleh terjadi KHALWAT (berduaan ditempat sepi) Selain itu pihak laki-laki dibolehkan melihat sebahagian anggota tubuh pasangan wanitanya namun sebatas telapak tangan dan wajah saja,tanpa adanya sentuhan-sentuhan yg membangkitkan nafsu seksual kedua belah pihak.Jika belum cukup ,maka pihak laki-laki boleh berulang kali ,tapi tetap sebatas kedua anggota badan tsb (tangan dan wajah).Hal ini dimaksudkan agar tidak timbul penyesalan dikemudian hari.
Dengan melihat raut muka ,malka sudah cukup utk menilai paras,karakter,sifat,serta etika pasangan.Sedangkan utk menilai kesegaran ,kehangatan, dan kepadatan ''isinya'',cukup melihat kedua tangannya....
Semua ini adalah konsep pacaran dalam perspektif konsep Islam yg mungkin sangat amat bangat sulit kita terapkan secara totalitas.Walaupun penulis risalah ini bukanlah orang yg steril dari hal itu.. Yah,,, paling tdk tulisan ini mengajak kita bersama tuk memeperhatikan lampu rambu-rambu agama yg selama ini sering dilanggar disekitar dan sekeliling kita merupakan hal yg lumrah adanya...
Kalau bukan kita,,, siapa lagi yg akan menjalankan Syari`at Islam Yaa Ikhwaniy Fidinillah ............!!!!!!!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Indahnya Islam dan Jawa dalam Karya Sastra Jawa


Dalam islam di ranah jawa, khususnya jawa yang berbahasa jawa, banyak sekali karya sang maestro dalam kitab jawanya. salah satu diantaranya adalah Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV dalam serat wulang rehnya. wulang adalah ajaran sedangkan reh adalah memerintah. yakni serat yang didalamnya banyak perintah2 kepada anak cucu dan semuanya dalam hidup ini.

Yang menarik bagi saya adalah banyak sekali ajaran syar'i dan adab dalam kitab ini, seperti halnya kajian kitab kuning di pesantren, hanya saja ini merupakan sari pati dari kitab-kitab tersebut, karena dahulu sang Kanjeng juga seorang ulama pada masanya.

Coba saja simak cuplikan bait 3 dan 4 dalam pupuh dhandanggula di dalam serat wulangreh-nya:

jroning kuran nggoning rasa jati
nanging ta pilig ingkang uninga
kajaba lawan tuduhe
nora kena den awur
ing satemah nora pinanggih
mundhak katalanjukan
temah sasar susur
yen sira ayun waskitha
sampurnane ing badanira puniki
sira anggegurua

nanging yen sira nggeguru kaki
amiliha manungsa kang nyata
ingkang becik martabate
sarta kang wruhing ukum
kang ngibadah sarta wirangi
sokur oleh wong tapa
ingkang wus amungkul
tan mikir paweweh ing lyan
iku pantes sira guranana kaki
sartane kawruhana

yang arti secara lepasnya yakni.
di dalam qur'an itu tempatnya (ilmu) rasa yang sejati
tetapi hanya orang pilihan yang mengetahui
kecuali dengan petunjuk orang yang mengetahui
(al-qur'an) tidak boleh dikira-kira (dalam penafsirannya)
yang akhirnya tak ditemukan
akhirnya terlanjur (dalam menafsirkannya)
alih-alih malah kesasar
jika engkau ingin mengetahui (qur'an) dengan benar
agar sempurna dirimu
sebaiknya engkau berguru

jika kamu hendak berguru
pilihlah guru yang bermartabat baik
dan mengerti akan hukum
yang beribadah serta wira'i
syukur kalau (engkau) mendapatkan (guru) yang ahli tapa (tirakat)
tidak mengharapkan pemberian (dari) orang lain
(orang) yang seperti itulah pantas kau jadikan guru

betapa luhur bukan akan karya sastra tersebut, tidak melulu jawa itu terkesan dengan sinkretisme yang sangat sehingga banyak yang menilai itu mengandung takhayul bid'ah dan khurafat.bid'ahpun luas pengkajiannya yang rasanya tidak pantas untuk saya paparkan di sini.

dengan merujuk kepada tulisan-tulisan luhur dan agung tersebut, menandakan bahwa islam di jawa tidak semuanya buruk. benar mungkin kejawen itu banyak mengandung unsur-unsur bid'ah, namun yang terkadang ekstrim dalam pelaksanaan ritualnya adalah bagi mereka yang memiliki aliran tersendiri, akan tetapi dalam ibadah-ibadah mahdhoh mereka juga tetap jalan, semisal aliran manunggaling kawula gusti, aliran pangestu wa akhwatuha.

tak kenal maka taksayang, begitulah dengan saya yang dahulu belum mengenal bagaimana islam di tanah jawa ini. namun setelah sedikit membuka mata, mencoba membuka hati, dan setelah sedikit mencicipi peninggalan-peninggalan agungnya, luar biasa. itulah budaya kita.

salam budaya, ^^

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PUISI CINTA ORANG ACOUNTANT


Wahai belahan jwa ku.....
Debetlah cinta ku dineraca hatimu
Kan kujurnal setiap transaksi rinduku
Hingga setebal Laporan Keuanganku
Wahai kekasih hatiku.....
Jadikan aku manejer investasi cinta mu
Kan Hedging kasih dan sayang mu
Disetiap lembar portofolio ku
Bila masa jatuh tempo tlah tiba
Jangan kau return kenangan indah kita
Biarlah bersemayam di Reksadana asmara
Berkelan di antara Aktiva dan Passiva
Wahai mutiara kalbu ku......
Hanya kau lah Master Budget hatiku
Invitory cintaku yang syahdu
General Ledger ku yang tak kan lekang ditelan waktu
Wahai bidadariku.......
Rekonsiliasikanlah hatiku dan hatimu
Seimbangkanlah neraca saldo kita
Yang membalut laporan laba rugi kita
Dan cerah kanlah laporan arus kas kita selamanya....


For anak IPS angkatan 2007,Ahmadul Jariyah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PERKENANKAN AKU MENCINTAI-MU SEMAMPUKU

  • Tuhanku,
  • Aku masih ingat, saat pertama dulu aku belajar mencintai-Mu…
  • Lembar demi lembar kitab kupelajari…
  • Untai demi untai kata para ustadz kuresapi…
  • Tentang cinta para Nabi.
  • Tentang kasih para sahabat.
  • Tentang mahabbah para sufi.
  • Tentang kerinduan para syuhada.
  • Lalu kutanam di jiwa dalam-dalam.
  • Kutumbuhkan dalam mimpi-mimpi dan idealisme yang mengawang di awan…
  •  
  • Tapi Ya Rabbi,
  • Berbilang detik, menit, jam, hari,bulan dan kemudian tahun berlalu…
  • Aku berusaha mencintai-Mu dengan cinta yang paling utama, tapi…
  • Aku masih juga tak menemukan cinta tertinggi untuk-Mu…
  • Aku makin merasakan gelisahku membadai…
  • Dalam cita yang mengawang.
  • Sedang kakiku mengambang, tiada menjejak bumi…
  • Hingga aku terhempas dalam jurang
  • Dan kegelapan…
  •  
  • Wahai Illahi,
  • Kemudian berbilang detik, minit, jam, hari, bulan dan tahun berlalu…
  • Aku mencoba merangkak, menggapai permukaan bumi
  • dan menegakkan jiwaku kembali.
  • Menatap, memohon dan menghiba-Mu...
  •  
  • Allahu Rahiim, Illahi Rabbii,
  • Perkenankanlah aku mencintai-Mu, Semampuku
  •  
  • Allahu Rahmaan, Ilaahi Rabii
  • Perkenankanlah aku mencintai-Mu Sebolehku
  • Dengan segala kelemahanku.
  •  
  • Ya Illahi,
  • Aku tak sanggup mencintai-Mu
  • Dengan kesabaran menanggung derita
  • Umpama Nabi Ayyub, Musa, Isa hingga Al Musthafa.
  • Kerana itu izinkan aku mencintai-Mu
  • Melalui keluh kesah pengaduanku pada-Mu
  • Atas derita batin dan jasadku
  • Atas sakit dan ketakutanku.
  • Ya Rabbii,
  • Aku tak sanggup mencintai-Mu seperti Abu Bakar,
  • yang menyedekahkan seluruh hartanya dan hanya meninggalkan Engkau dan Rasul-Mu bagi diri dan keluarga.
  • Atau layaknya Umar yang menyerahkan separuh harta demi jihad.
  • Atau Uthman yang menyerahkan 1000 ekor kuda untuk syiarkan din-Mu.
  • Izinkan aku mencintai-Mu, melalui seringgit-dua yang terulur
  • pada tangan-tangan kecil di perempatan jalan,
  • pada wanita-wanita tua yang menadahkan tangan di tepi jambatan.
  • Pada makanan–makanan sederhana yang terkirim ke handai taulan.
  •  
  • Ya Illahi,
  • Aku tak sanggup mencintai-Mu
  • Dengan khusyuknya solat salah seorang shahabat Nabi-Mu hingga tiada terasa anak panah musuh menujah di kakinya.
  • Karena itu Ya Allah,
  • perkenankanlah aku tertatih menggapai cinta-Mu,
  • dalam sholat yang coba kudirikan terbata-bata,
  • meski ingatan kadang melayang ke berbagai permasalahan dunia.
  •  
  • Ya Rabbii,
  • Aku tak dapat beribadah ala para sufi dan rahib,
  • yang membaktikan seluruh malamnya untuk bercinta dengan-Mu.
  • Maka izinkanlah aku untuk mencintaimu dalam satu-dua rakaat lailku.
  • Dalam satu dua sunnah nafilah-Mu.
  • Dalam desah nafas kepasrahan tidurku.
  •  
  • Yaa Maha Rahmaan,
  • Aku tak sanggup mencintai-Mu bagai para al hafidz dan hafidzah,
  • yang menuntaskan kalam-Mu dalam satu putaran malam.
  • Perkenankanlah aku mencintai-Mu,
  • melalui selembar dua lembar tilawah harianku.
  • Lewat lantunan seayat dua ayat hafalanku.
  •  
  • Yaa Maha Rahiim,
  • Aku tak sanggup mencintai-Mu semisal Sumayyah,
  • yang mempersembahkan jiwa demi tegaknya Din-Mu.
  • Seandai para syuhada, yang menjual dirinya dalam jihadnya bagi-Mu.
  • Maka perkenankanlah aku mencintai-Mu dengan mempersembahkan sedikit bakti dan pengorbanan untuk dakwah-Mu.
  • Maka izinkanlah aku mencintai-Mu dengan sedikit pengajaran bagi tumbuhnya generasi baru.
  •  
  • Allahu Kariim,
  • Aku tak sanggup mencintai-Mu di atas segalanya,
  • bagai Ibrahim yang rela tinggalkan putra dan zaujahnya,
  • dan patuh mengorbankan pemuda biji matanya.
  • Maka izinkanlah aku mencintai-Mu di dalam segalanya.
  • Izinkan aku mencintai-Mu dengan mencintai keluargaku,
  • dengan mencintai sahabat-sahabatku,
  • dengan mencintai manusia dan alam semesta.
  •  
  • Allahu Rahmaanurrahiim, Ilaahi Rabbii
  • Perkenankanlah aku mencintai-Mu semampuku.
  • Agar cinta itu mengalun dalam jiwa.
  • Agar cinta ini mengalir di sepanjang nadiku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

TASAWUF DAN PENGARUHNYA Refleksi Tasawuf Sunni al-Ghozali

Ada sementara anggapan bahwa sufisme adalah identik dgn pola hidup asketik dan kepasrahan hidup yg statis.Anggapan ini tidak selamanya benar,minimal bila hal ini dikaitkan dgn konsep sufisme yg di ajarkan al-Ghozali,seorang sufi,teolog,filosof,dan juga seorg faqih yg mumpuni..
Dari karya2 beliau hasilkan,,menawarkan sufisme yg dinamis dan kreatifdgn melihat kehidupan ini sbgai proses untuk mencapai kesempurnaan diri yg harus dilalui melalui kegiatan yg aktif.Dalam kaitan ini al- Ghozali pernah mengatakan:"Anna sa`adata laa tunalu illa bil `ilmi wa `amal"(kebahagiaan tdk akan pernah ditemukan tanpa adanya ilmu dan amal).
Inilah satu aspek yg cukup menarik utk ditelaah,dikaji dan di apreasiasi secara kritis sehingga konsep yg ditawarkannya dapat meluruskan semntara anggapan miring tentang taswuf dan mencairkan kekentalan sufisme yg bernuansa pasif,pasrah dan lari dari realitas.Disamping itu,al_Ghozali berusaha utkmenyelaraskan suatu konsep ajaran sufi yg tdk hanya mengutamakan ajaran syariat yg bersifat simbiolistik- legalistik- formalistik semata,namun jg melalui pengembaraan dan perenungan hati secara mendalam untuk menemukan kebenaran sejati yg lagsung datang dari yg Maha Benar,Allah swt melalui kebersihan dan kesucian qolbu.Sehingga cahaya Allah(nur al- Allah) inilah yg dapat membimbing kita menuju ridha -Nya. Atau dg kata lain,dgn menjalankan ajaran2 haqiqat yg disamping ajaran2 syariat.
Kama Qiylaa `Ulama;
"May yatafaqqoh,,,, walam yashowwaf ,,,qod tafassaq..
May Yatashowwaf,, walam yatafaqqoh,,,,laqod tajanndaq,,
Wa man jama`a baynahuma laqod TAHQQOQ"
Inilah yg kita harapkan Tahaqquq fi A`mal (benar dlm beramal)..
Yaa Ikhwaniy fi Dinillah Haq............!!!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

“Pesantren, Kepemimpinan Nasional dan Masa Depan Indonesia”


EKSISTENSI pondok pesantren di tengah arus modernitas saat ini tetap signifikan. Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia pesantren memiliki kontribusi penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Lembaga pendidikan ini layak dipertimbangkan dalam proses pembangunan bangsa di bidang pendidikan, keagamaan dan moral. Ditinjau secara historis, pesantren memiliki pengalaman luar biasa dalam membina, mencerdaskan dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekitarnya. Pesantren telah lama menyadari bahwa pembangunan sumber daya manusia (SDM) tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga semua komponen masyarakat, termasuk dunia pesantren sendiri.

Keberadaan pesantren sampai saat ini membuktikan keberhasilannya menjawab tantangan zaman. Kemampuan adaptatif pesantren atas perkembangan zaman memperkuat eksistensinya sekaligus menunjukkan keunggulannya. Keunggulan tersebut terletak pada kemampuan pesantren menggabungkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual.

Dalam rangka mengembangkan peran pesantren dalam pembangunan SDM yang berkualitas dan merumuskan langkah strategis pesantren dalam membangun pendidikan, pada tanggal 30-31 Maret 2012 yang lalu, Majelis Komunikasi Alumni Babakan (Makom Albab) bekerjasama dengan Yayasan Amal al-Biruni menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk “Pesantren, Kepemimpinan Nasional dan Masa Depan Indonesia”. Menurut Dr. H. Affandi Mochtar, MA, penggagas acara ini menjelaskan, di samping diselenggarakan untuk menjalin silaturrahim dan mempererat tali persaudaraan di antara para alumni Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, juga dalam rangka Haul al-Maghfurlah KH. Amin Sepuh dan KH. Muhammad Sanusi. Di masa kepemimpinan kedua tokoh kharismatik ini, menurut Affandi, Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin berada di puncak kemajuan dan berada dalam satu komando kepengasuhan yang menyatu sebelumnya akhirnya, pada periode-periode selanjutnya, berkembang menjadi beberapa pesantren yang masing-masing dipimpin oleh seorang kyai.

Dr. H. R. Agung Laksono, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, yang pada acara seminar tersebut berkesempatan hadir untuk membuka secara resmi, dalam sambutannya mengungkapkan kebanggaannya kepada Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin dan segenap alumninya yang telah menyelenggarakan seminar tersebut guna memikirkan pembangunan negara dan bangsa Indonesia. Menurutnya, pondok pesantren memiliki andil besar bagi perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia sampai sekarang, sekaligus berperan besar bagi pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan pendidikan di Indonesia. Dalam sejarah perjuangan mengusir penjajah dari Indonesia, misalnya, banyak pondok pesantren yang turut andil bahkan berhadapan langsung dengan para kolonial. Pada saat itu para kiyai, ulama dan tokoh agama mengajarkan kepada para santrinya dan masyarakat sekitar, selain pengetahuan agama, ilmu bela diri, juga doa-doa tertentu yang mampu untuk menghadapi dan mengusir para penjajah. Demikianlah pola pendidikan di pondok pesantren telah menumbuhkan semangat heroisme pada saat itu.

Tidak hanya itu, Agung juga mengatakan bahwa dari pondok pesantren telah lahir kader-kader ideal bangsa yang membawa masyarakat Indonesia mampu menapaki modernitas tanpa kehilangan akar spiritualitasnya. Sampai saat ini model pendidikan pondok pesantren masih tetap bertahan dari segala zaman, tidak pernah lapuk dimakan usia seperti buah kelapa, bahkan semakin tua semakin banyak santannya. Seluas apapun pengaruh modernisasi dan kemajuan teknologi, namun pondok pesantren tetap mampu bertahan, tetap konsentrasi dan fokus dalam mengkaji pengetahuan agama Islam. Sekalipun dalam sistem pembelajarannya menggunakan pola tradisional, seperti sorogan, bandongan, halaqah dan seterusnya. Tetapi metode-metode itu tetap unggul dan ampuh memberikan kesan sepanjang hayat para santri dalam mendapatkan ilmu pengetahuan agama di pesantren. Dalam perkembangan terakhir terbukti bahwa dari pesantren telah lahir banyak pemimpin bangsa dan masyarakat.

Sejarah telah mencatat prestasi pesantren dalam membentuk kultur benteng pertahanan bagi nilai-nilai religius yang terbentuk dari pola kehidupan antara kiyai dan santri yang memiliki karakter khusus yang mampu menghubungkan ikatan lahir-batin. Antara keduanya senantiasa saling menghormati, sehingga terwujudlah komunitas dua arah yang menyatu. Di satu sisi sebagai komunitas yang sangat patuh, dan di sisi yang lain sebagai komunitas pemimpin yang mampu mewujudkan suri tauladan yang baik. Kekhasan ini masih ditambah dengan prinsip-prinsip pesantren yang luhur, seperti kesederhaan, perjuangan tanpa pamrih, spiritualitas yang tinggi, ketekunan dan kedisiplinan. Dengan demikian, pesantren telah terbangun secara konstruktif, benar-benar mampu membumikan nilai-nilai ilahiyah ke dalam prilaku para santrinya, dan sekaligus kepada masyarakat. Jadi sangat layak jika pesantren ini disebut sebagai “center of values” dan “center of knowledge”.

Untuk itu, dalam upaya pengembangan mutu pendidikan pesantren, menurut Menko, pemerintah memberikan perhatian yang besar dalam upaya turut membangun dan mendorong para santri yang dididik di pesantren dengan pembekalan yang berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi. Pemerintah, misalnya, telah mencanangkan program yang disebut “Program Pemberdayaan Ekonomi Pesantren” (PPEP). Program PPEP ini salah satunya dimaksudkan untuk ikut menanggulangi kemiskinan di tanah air, supaya para santri memiliki kemampuan di samping memperdalam agama juga pengetahuan tentang basis-basis ekonomi. Dengan begitu diharapkan mereka bisa mandiri dan bisa melakukan hal-hal yang juga mendidik masyarakat lingkungannya, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi kerakyatan. Memang alokasinya masih terbatas, masih berkisar 100 pesantren, dan jumlahnya dananya juga tidak terlalu besar, yaitu antara 100 atau 200 juta per pesantren. Alokasi ini dilakukan untuk membantu berbagai hal di pondok pesantren dalam rangka pengembangan ekonomi, antara lain: pertama, mengembangkan modal usaha koperasi atau kopontren; kedua, mengembangkan pos kesehatan di pesantren agar para santri betul-betul sehat baik jasmani maupun rohani, dan bisa mengetahui bahwa tindakan kesehatan tidak hanya berupa tindakan pengobatan atau kuratif, tetapi juga tindakan pencegahan atau preventif; ketiga, mengembangkan usaha ternak di pesantren, seperti ternak sapi, kambing, unggas, dsb.; keempat, mengembangkan keterampilan dalam pembangunan, misalnya hal-hal yang berkaitan dengan teknik dan sebagainya.

Itulah sasaran-sasaran yang menjadi fokus perhatian pemerintah, di samping yang sudah ada dan sudah berjalan selama ini yaitu “Bantuan Operasional Sekolah” (BOS) yang juga diberikan kepada pondok-pondok pesantren yang sudah terdaftar dan betul-betul memiliki kegiatan-kegiatan layaknya pondok pesantren. Juga ada beasiswa bagi para santri, lebih-lebih para santri yang berprestasi dan para santri yang lemah secara ekonomi. Bahkan, pada tahun 2011 yang lalu sekirat 1.8 juta santri diberi beasiswa untuk menghadapi berbagai gejolak akibat kenaikan BBM, dan untuk tahun ini sudah diduakali lipatkan menjadi 3 juta santri. Dan tentu saja pada waktunya ada beberapa program yang turut memberikan stimulasi-stimulasi dalam perbaikan infrastruktur pesantren itu sendiri.

Makanya pemerintah sangat mengharapkan kerjasama dari pesantren dengan mengupayakan membentuk semacam standarisasi, yang tentu saja bisa diciptakan dan dikelola sendiri oleh para pengasuh pesantren. Standarisasi sangat penting agar pemerintah bisa mengalokasikan bantuan yang bisa dikoneksikan dan dicantolkan karena memiliki standarisasi. Kalau tidak memiliki standarisasi tentu akan sulit bagi pemerintah melihat apa yang menjadi kewajiban dan tanggung jawabnya. Lebih-lebih saat ini di tanah air sedang marak terjadinya radikalisme yang dilakukan oleh komunitas-komunitas yang mengatasnamakan pesantren padahal bukan pesantren. Nah, di sinilah pentingnya standarisasi.

Sementara itu, sebagai salah satu nara sumber dalam seminar tersebut, Wakil Gubernur Lemhanas Letjend Tri Moeldoko, berupaya meyakinkan seluruh insan pesantren agar tidak lagi merasa termarginalkan dalam proses pembangunan nasional. Dalam konteks ini, menurutnya, pesantren justru mempunyai lima peran yang sangat stretegis: pertama, sebagai lembaga keagamaan yang mengajarkan ilmu-ilmu agama; kedua, sebagai lembaga pendidikan yang menjadi wadah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan ekonomi dan budaya; ketiga, sebagai lembaga sosial dan ketahanan moral yang menjaga harmonisasi masyarakat dan juga melakukan kontrol sosial; keempat, sebagai “agen of change” atau agen perubahan; kelima, yang lebih penting lagi, sebagai lembaga pendidikan yang menyiapkan kader-kader pemimpin masa depan. Para insan pesantren harus memikirkan bagaimana peran-peran ini kembali untuk kemanfaatan umat dan masyarakat secara lebih luas, bukan hanya untuk kelompok-kelompok tertentu saja.

Moeldoko berpandangan, pesantren mempunyai potensi besar terutama untuk melahirkan calon-calon pemimpin yang moral tinggi. Hanya saja mungkin karena belum dikelola secara baik, dan belum diberi akses yang memadai, sehingga kemudian kepemimpinan-kepemimpinan yang ada di Indonesia tidak lahir dari pesantren murni. Karena itu, saat ini sudah tiba waktunya di mana akses orang-orang pesantren sudah semakin luas, diharapkan 10 atau 20 tahun ke depan Indonesia akan dipimpin oleh santri-santri yang berkualitas dengan standar moralitas yang tinggi. Sehingga Indonesia tidak hanya subur tanah, tetapi juga subur moralitas dan kualitas masyarakatnya.

Kemudian, nara sumber berikutnya, Masdar F. Mas’udi, menegaskan bahwa Indonesia terlahir dari pesantren, dikawal dari waktu ke waktu terutama pada saat-saat genting. Tetapi ketika situasi sudah aman, ibaratnya mobil telah berjalan, pesantren selalu ditinggalkan. Sehingga bisa dikatakan bahwa negeri ini memang ada kualatnya dari pesantren.

Di antara pandangan Masdar yang sangat menarik adalah, bahwa Nusantara merupakan wilayah keislaman yang damai. Karena Islam yang dianut dari waktu ke waktu tidak ditegakkan dengan perang, tetapi—secara umum—melalui ajaran dan tradisi para guru sufi (tarekat) di zawiyah-zawiyah, yang kemudian lembaga pendidikannya disebut pesantren. Dan ini telah memberikan corak begitu besar kepada keberislaman masyarakat muslim Indonesia yang bersifat damai dan lebih menekankan prilaku yang luhur dan anti-kekerasan. Tentu saja ini berbeda dengan Islam di Timur Tengah, yang dari waktu ke waktu ditegakkan dan dikawal dengan pedang, perang dan pertumpahan darah. Apalagi Islam mutakhir yang terlahir dari negeri sana mengekspor Islam garis keras di Nusantara ini.

Terdapat banyak harapan dari eksponen pesantren yang hadir dalam seminar tersebut – yang juga menampilkan para nara sumber lain yaitu Prof. Dr. Ahmad Mubarok, Endin Soefihara, Teguh Juwarno dan KH. Maman Imanul Haq, khususnya agar Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon dan pesantren-pesantren di seluruh Indonesia pada umumnya bisa menjadi lebih maju. Harapan itu di antaranya: pertama, konsisten menerapkan sistem pendidikan yang berpegang teguh kepada ajaran keagamaan yang benar sebagaimana tujuan utama pondok pesantren dalam membina dan mendidik para santri. Kedua, menciptakan kondisi pembelajaran yang tidak ta’assub atau fanatik atau ekstrem sehingga para santrinya tidak mudah menyalahkan ajaran agama atau keyakinan orang lain yang tidak sepaham. Sebab pada hakikatnya Islam adalah agama rahmat-an li al-alamin (membawa rahmat bagi semesta alam), mengajarkan berbagai kebajikan, kedamaian, hidup rukun dan harmonis.

Ketiga, mampu mengajarkan agama dengan cara pandang yang luas dan komperhensif atau yang utuh, dan diharapkan agar turut mengembangkan wawasan kebangsaan yang saat ini sedang mengalami erosi. Bangsa Indonesia yang dulu dikenal ramah, bahkan orang-orang Arab yang datang ke sini dulu sangat terkagum-kagum, tetapi sekarang hal itu sudah mulai memudar. Jangankan dengan bangsa luar, dengan bangsa sendiri saja sering ribut. Dalam hal ini, pesantren dituntut memberikan edukasi dan pendidikan terhadap masyarakat, terutama pendidikan bahwa penyelesaian apapun terkait masalah-masalah sosial-kemasyarakatan, hanya bisa diselesaikan dengan suasana tenang dan damai, bukan dalam suasana emosional, apalagi kalau sampai menggunakan cara-cara kekerasan. Pendidikan seperti ini kiranya merupakan bagian dari pendidikan karakter bangsa. Dan para santri serta alumni pesantren mempunyai kelebihan, di samping pendidikan agama yang mendalam, juga kemampuan berkomunikasi yang sangat baik. Dengan demikian pesantren akan memberikan kesejukan, menciptakan suasana yang kondusif, damai dan harmonis dalam kehidupan bermasyarakat, baik kehidupan seagama maupun antaragama. Tidak terbawa oleh paham-paham yang sesat atau sebaliknya dapat terpengaruh oleh paham-paham yang suka membuat teror terhadap sesame umat maupun para aparatur negara.

Keempat, menanamkan pendidikan agama yang mampu mempertahankan budaya masyarakat berdasarkan kearifan lokal maupun budaya nasional yang multikultural. Karena pondok pesantren merupakan salah satu benteng pertahanan budaya. Sehingga sangat tepat apabila bangsa ini kemudian meletakkan harapan kepada pesantren yang selalu didorong untuk tetap eksis yang sudah hadir di tanah air kita berabad-abad yang lalu.

Kelima, pesantren diharapkan menjadi lembaga pendidikan yang peduli dan berbudaya lingkungan, memperhatikan dan mengaplikasikan aspek kesehatan, seperti makan minum santrinya, sistem perairannya, sistem pembuangan limbah, dll.

Harapan-harapan tersebut setidaknya bisa menjadi stimulus bagi pesantren dalam mencetak pemimpin-pemimpin bangsa yang berkarakter yang mampu menghadapi tantangan-tantangan dari manapun datangnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS